Candi CETO,Keindahan Lereng G.Lawu

Suruh siapa kasih libur terlalu lama. Seperti biasa, jiwa backpacker saya berontak. Bersenjatakan kamera dan sepeda motor, saya menyepi ke sebuah desa yang (nampaknya) tak terkena dampak arus mudik. Hening dan beku. Terselip pada ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut.
Candi Ceto pastilah belum sefenomenal Candi Prambanan, sejawat Hindu-nya. Namun bicara soal urat petualangan, Candi Ceto boleh dibilang selevel lebih menjanjikan. Pada catatan ini saya akan berkisah tentang langkah saya menapaki Candi Ceto. Siapa tahu, anda kelak juga berkesempatan untuk berkunjung ke sana.

Perjalanan
Anda tentu masih ingat dengan Bung Harto. Lokasi Candi Ceto sebenarnya tidak jauh dari Astana Giribangun, makam Bapak Pembangunan. Untuk mencapainya, ada tiga tahap perjalanan. Tahap pertama ialah menuju ke Pasar Karangpandan, 30 kilometer dari Solo. Kita menyusuri jalan raya yang luas dan mulus. Jelas mulus. Sebab jalan ini dulunya sering dilintasi klan Cendana.
Tahap kedua adalah dari Pasar Karangpandan menuju ke Pasar Kemuning. Jalannya cukup sempit namun relatif bagus. Tahap ketiga adalah bagian yang paling menantang, yaitu Kemuning menuju ke Candi Ceto. Jalurnya menanjak, sempit, serta berkelok-kelok. Butuh pengemudi yang terampil untuk menempuhnya. Apalagi kabut tebal rentan menutupi jalan yang dibatasi jurang. Untuk ini saya merekomendasikan kendaraan kecil seperti sepeda motor atau mobil sedan.
Namun apabila cuaca cerah, kita berkesempatan untuk menikmati pemandangan di sisi kanan-kiri jalan. Sepanjang sepuluh kilometer, kita disuguhi pemandangan perkebunan teh yang luas di Desa Ngargoyoso, asal jangan meleng sebab rute yang dilalui cukup berbahaya. Anda kan mau ke candi dalam keadaan hidup-hidup.
Masuk kompleks candi, kita akan dikenai retribusi Rp 3.500 dan uang parkir Rp 2.000. Kompleks Candi Ceto terletak di tengah-tengah hutan cemara. Jadi boleh anda bayangkan suasananya yang sejuk dan rimbun. Namun dinginnya kerap keterlaluan, terlebih jika saat kabut mulai turun.
Pengetahuan
Candi Ceto dibangun oleh Prabu Brawijaya pada tahun 1451. Sekedar gambaran, pada tahun yang sama orang Inggris membangun University of Glasgow. Kita memang kaya akan budaya, namun soal peradaban boleh dibilang kita lumayan terlambat.
Candi ini diwarnai corak Hindu yang kental. Bahkan sejumlah besar penduduk sekitar juga beragama Hindu. Pada kunjungan saya tadi, sejumlah orang nampak sedang melakukan upacara keagamaan pada candi tersebut. Mereka berpakaian layaknya pendekar dari Bali dan membawa sejumlah sesajen.
Gapura masuk Candi Ceto disebut dengan Gapura Bentar alias gapura belah. Namun itu bukan berarti sebentar sama artinya dengan sebelah.
Pada foto sebelah (bukan sebentar) nampak seorang penganut Hindu berdiri di hadapan gapura tersebut. Bukan. Dia berdiri di situ bukan karena dia pengawas candi atau sedang melakukan ritual. Dia berdiri di situ karena mau difoto temannya.
Candi Ceto terbagi atas beberapa pelataran. Dari pelataran satu menuju ke pelataran berikutnya dipisahkan oleh beberapa anak tangga. Semakin tinggi suatu pelataran maka semakin suci tempat tersebut. Pada pelataran pertama, sejumlah orang melakukan upacara keagamaan.
Mereka berkumpul di hadapan sebuah arca dan mengadakan ibadah. Suasananya amat khusyuk ditemani dinginnya udara Gunung Lawu dan naungan hutan cemara.
Di pelataran kedua, terdapat arca kura-kura raksasa. Ukurannya sebesar meja pingpong. Sesuai aturan, wanita yang sedang mengalami siklus bulanan tidak diperkenankan melintasi arca ini. Hal tersebut kemungkinan besar ada hubungannya dengan kesucian.
Pada pelataran kesembilan (teratas) terdapat bangunan candi utama. Bangunannya tidak begitu besar, barangkali hanya sekitar 10 x 10 meter. Sementara tingginya kurang lebih sekitar enam meter. Ini merupakan puncak candi atau pelataran paling suci di sana.
Candi Ceto terletak di atas bukit, sehingga dari puncaknya kita dapat melihat pemandangan yang luas dan menakjubkan. Bahkan, di saat cuaca cerah, kita dapat menyaksikan Gunung Merapi dan Merbabu dari tempat ini. Menuruni lereng yang terjal, ada candi lain yang oleh warga setempat disebut dengan Candi Kethek alias candi monyet. Namun candi tersebut tidak terurus.
Penglihatan
Pemandangan menarik yang tidak mampu disaksikan setiap harinya adalah prosesi keagamaan yang kebetulan terjadi di sana. Sekelompok orang beragama Hindu yang jumlahnya sekitar 30-an dan berpakaian serba putih berkumpul di candi tersebut.
Nampak seorang tetua memberikan sesajen di hadapan sebuah arca dan mulai berdoa.
Sementara itu sejumlah pemuda mendaki atap candi, lalu mengikatkan bendera merah putih di sana. Kemudian mereka pun melakukan doa bersama. Dugaan saya mereka sedang mendoakan bangsa Indonesia. Sesuatu yang lazim mereka lakukan.
Sesaat kemudian seluruh peserta upacara melaksanakan ibadah di pelataran paling atas. Karena tidak ingin mengganggu, saya beralih ke tempat lain untuk mencari objek foto. Ada beberapa arca menarik di sisi kanan kiri candi.
Menurut penjelasan yang ada, terdapat sejumlah arca tokoh-tokoh Majapahit pada masa tersebut di samping arca phallus. Di antaranya arca Brawijaya bersama Sabdapalon atau Nayagenggong.
Saya tidak paham arca di atas ini merupakan pencitraan dari tokoh siapa. Namun arca tersebut merupakan arca yang kondisinya masih bagus di antara arca-arca lainnya yang sudah mulai rusak terkikis oleh sentuhan alam selama enam abad.
Perpisahan
Perpisahan saya dengan Candi Ceto boleh dibilang agak ‘terpaksa’. Belum puas mengumpulkan foto, tiba-tiba saya melihat kabut tebal mulai turun dan membenamkan hutan cemara. Tentu saya tidak bisa berlama-lama di situ sebab terbayang betapa menakutkan kondisi jalan apabila tertutup kabut. Saya pun bergegas turun kembali ke Pasar Kemuning.
Akhirnya dalam waktu kurang dari lima belas menit, saya berhasil mencapai Pasar Kemuning. Dari sana jalan sudah tidak begitu berat untuk dilalui dalam kondisi apapun. Di kejauhan saya melihat siluet perkebunan teh yang menawan dipayungi awan hitam.
Indah. Asal kita tidak dekat-dekat di sana dan menunggu disambar petir. Uniknya, tidak sampai sepuluh menit kemudian, kabut tebal dan awan hitam tersebut menghilang karena tertiup angin yang memang berhembus kencang.
Penutupan
 
Untuk mencapai Candi Ceto, sepeda motor adalah kendaraan paling bisa diandalkan. Namun jika anda menggunakan kendaraan umum, maka anda bisa menggunakan bus jurusan Tawangmangu dan berhenti di Pasar Karangpandan. Kemudian berpindah menggunakan omprengan (angkudes) menuju Pasar Kemuning. Dari sana ada tukang ojek yang mau mengantarkan hingga Candi Ceto dengan biaya kurang dari Rp 25.000.
Kedua, cuaca di daerah Ngargoyoso cepat berubah. Hembusan angin relatif kencang dan suhu udaranya lumayan rendah. Jadi sebaiknya anda mempersiapkan diri untuk menghadapi hal-hal tersebut sebelum menuju ke lokasi.
Hanya sekitar lima belas kilometer dari Candi Ceto, terdapat candi lain yaitu Candi Sukuh. Selain medannya lebih gampang untuk dilalui, Candi Sukuh juga lebih terkenal daripada Candi Ceto, utamanya karena sisi erotismenya.
Untuk petualang hardcore, anda bisa mendaki puncak Gunung Lawu dari Candi Ceto. Makan waktu sekitar sebelas jam untuk mencapai daerah Argodumilah alias puncak Gunung Lawu pada ketinggian 3.265 meter dari permukaan laut.
Candi Ceto adalah sasaran petualangan yang sangat menarik. Baik untuk petualang merangkap fotografer, backpacker, wisatawan keluarga, maupun kelompok pecinta alam yang mau mencoba menaklukkan Lawu tanpa melalui ‘rute pramuka’ Cemorokandang.









  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar